Minggu, 17 Agustus 2014




Kawasan Pedan, Klaten, Jawa Tengah, sudah sekian lama menjadi sentra lurik. Pasang surut mewarnai perjalanannya. Banyak pula yang tumbang. Namun, lewat tangan kreatif generasi baru, lurik kembali menggeliat dan terangkat.

Riwayat tenun tradisional lurik di kota kecil Pedan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, memang sudah berusia sangat panjang. Kain bermotif garis-garis itu sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Kediri. Berlanjut ke masa Mataram, Pajang, Yogyakarta, Surakarta, dan akhirnya sampailah ke Pedan. Pada tahun 1938, seorang pengusaha Pedan bernama Suhardi Hadi Sumarto menimba ilmu ke Textiel Inrichting Bandoeng (sekarang Sekolah Tinggi Teknologi Bandung). Sepulang dari Bandung, Suhardi mempraktikkan ilmu membuat tenun lurik bersama saudara-saudaranya. Mereka lantas membuat perusahaan keluarga. Usaha mereka pun berhasil, sehingga menjadikan keluarga Suhardi kaya raya.

Semula hanya keluarga Suhardi yang menjadi pengrajin lurik. Sampai akhirnya tahun 1948 terjadi Agresi Belanda yang mengakibatkan hampir semua warga Pedan mengungsi. Selama di pengungsian, karyawan Suhardi memberikan ilmu tenun kepada sesama pengungsi. Tahun 1950 ketika situasi kembali normal, pengungsi kembali ke rumah masing-masing dan ikut-ikutan membuka usaha tenun. Ibarat cendawan di musim penghujan, banyak warga Pedan yang mendirikan usaha tenun dengan menggunakan ATBM itu. Salah satunya adalah Atmo Prawiro, yang pada akhirnya dikenal sebagai pengusaha lurik sukses. Usaha lurik yang dijalaninya itu bahkan berhasil membiayai pendidikan putranya, Rachmad, hingga mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.  





Di masa kuliah inilah, Rachmad kemudian mencoba ikut mengembangkan usaha lurik ayahnya. Ia mencermati mode pakaian orang kota sekaligus mencari tahu bahan busana apa yang bisa mereka kenakan. Saat pulang ke Pedan, Rachmad telah membawa bekal ilmu berupa bahan benang yang bagus untuk tenun lurik. Dan Rachmad pun akhirnya memutuskan untuk jadi pengusaha lurik dengan nama Sumber Sandang. Dalam kenangan Rachmad, periode tahun 50-an merupakan masa keemasan lurik. Saat itu kemakmuran masyarakat Pedan merata. Di masa kejayaan lurik, ada sekitar 500 pengusaha dengan sekitar 60 ribu orang pegawai di seluruh Kabupaten Klaten yang berpusat di Pedan. Pemasaran lurik pun sampai ke seluruh wilayah Indonesia. Lurik apa pun yang dibuat selalu laku keras. Bahkan Rachmad mengaku dirinya saat itu bisa mendapatkan untung besar sampai 120 persen.

Menurut Rachmad, keberhasilan para pengusaha lurik tak lepas dari campur tangan negara yang berpedoman berdikari, termasuk di bidang sandang. Segala kebutuhan pokok penduduk kala itu tidak bergantung dengan luar. Bahkan di setiap wilayah Indonesia terdapat koperasi tenun. Pemerintah juga berupaya agar harga bahan tidak dipermainkan oleh tengkulak. Salah satu caranya adalah orang tidak boleh mengimpor bahan seenaknya. Akan tetapi situasi berubah di masa Orde Baru ketika pemerintah mengizinkan Penanaman Modal Asing. Industri tekstil bermodal besar pun bermunculan. Sampai akhirnya di tahun 1973, usaha rakyat mengalami masa senjakala. Benteng-benteng koperasi banyak yang jebol. Industri kecil tradisional tergilas pemodal besar. Usaha lurik pun seperti hidup segan, mati tak mau. Saat itu bertepatan dengan masuknya mesin tekstil yang menyerbu Indonesia.

Di antara sekian banyak pengusaha yang tumbang, Rachmad masih bertahan. Ia berupaya terus berinovasi agar lurik kembali terangkat. Pada tahun 80-an, ia sempat pergi ke Bali untuk menjajakan contoh barang. Di sana, ia bertemu dengan orang Jerman yang langsung memesan dalam jumlah besar. Rachmad masih ingat, harga per meter kain luriknya saat itu masih Rp 5000. Kemudian dikisahkan Rachmad kembali, lurik sempat kembali terangkat di tahun 80-an. Ketika itu, gubernur Jawa Tengah, Ismail, mewajibkan pegawai negri mengenakan lurik, sehingga ada angin baru bagi para pengusaha UKM. Rachmad pun terus berupaya mengembangkan motif. Pada intinya, lurik itu merupakan motif kain berupa garis-garis kecil dengan 2-5 warna. Ada beberapa motif lurik yang hingga sekarang penciptanya tidak diketahui. Misalnya saja motif ketan ireng, ketan salak, kijing miring, sodo sak ler, kembang bayem, kembang sembukan, rinding putung, dom kecer (hujan gerimis), dan tumbar pecah.





Namun, perjalanan lurik tradisional kembali mengalami masa surut ketika muncul usaha pabrik yang membuat lurik murah dengan teknik cap. UKM pun ambruk lagi. Tapi lagi-lagi, Rachmad mencoba untuk terus bertahan. Yang membahagiakannya adalah, anaknya saat ini ikut meneruskan usahanya, bahkan terus berupaya mengembangkannya. Arif Purnawan, putra Rachmad ini, memang ingin dapat terus melanjutkan budaya lurik nenek moyangnya. Semasa remaja, ia sudah membantu sekaligus menimba ilmu lurik dari ayahnya. Sudah sejak tahun 1994, Arif menggeluti lurik. Dan ia adalah satu-satunya anak Rachmad yang menyukai lurik. Bakan kini selain membantu usaha orangtuanya, ia juga membuka usaha sendiri yang diberinya nama PT Warisan Multi Tenun.

Tak sekedar belajar, anak kedua dari 8 bersaudara ini juga mengamati jatuh bangun usaha ayahnya. Salah satu kelemahan lurik menurut Arif adalah motifnya yang cenderung monoton. Karena memang berdasarkan penjelasan orangtuanya lurik itu memang artinya motif garis-garis. Namun, dari pengalaman itu akhirnya banyak produksi lurik yang menumpuk dan tidak laku terjual. Arif menyadari pengusaha lurik yang ada di Pedan pada umumnya memang monoton. Karena tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, akibatnya banyak yang tertinggal dan akhirnya harus tutup. Arif pun berupaya agar pasar kembali melirik lurik. Caranya untuk membangkitkan gairah pembeli adalah dengan berupaya mengikuti trend. Arif memang tidak puas dengan motif lurik yang hanya garis-garis. Menurutnya, kalau motifnya kuno, tentu akan ditinggalkan. Oleh karena itu, ia harus mengembangkan sesuai dengan zaman.





Meskipun begitu, pengembangan motif ini diusahakan tidak meninggalkan patron. Misalnya saja ia memadukan lurik dengan motif tenun Papua atau Sumba. Arif mulai mengotak-atik agar motif lurik semakin kaya. Saat ini, ia mengangkat motif bertema Nusantara, antara lain dengan memadukan tenun ikat, tenun bobby, dan tenun songket. Dari perpaduan itu lurik menjadi tidak ditinggalkan tapi justru terangkat kembali. Tidak hanya itu, alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Krisna Dwipayana ini, juga memperhatikan keinginan pasar, misalnya saja soal warna. Kalau saat ini orang senang dengan warna yang ngejreng, ia harus membuat lurik dengan warna-warna yang ngejreng pula. Dari hasil kreativitasnya, Arif bisa mengangkat kembali model tahun 60-an dengan paduan motif lain.

Kreasi modifikasinya ini pun membuahkan hasil positif. Bahkan Arif berhasil bekerja sama dengan sebuah perusahaan eksportir di Yogyakarta untuk mengirim lurik ke sebuah mal besar di Amerika Serikat. Awalnya ia mengajukan motif dengan bahan berkualitas, sampai akhirnya disetujui. Tentu saja, kualitasnya harus benar-benar bagus. Ia harus mendidik pengrajin untuk memenuhi pasar ekspor ini. Sampai sekarang, kerja sama ini masih terus berjalan. Tak ketinggalan, Arif juga menggarap pasar lokal. Ia memenuhi kebutuhan sandang untuk masyarakat di luar pulau Jawa, terutama kawasan Indonesia Timur. Bakan, ia tak segan menjalin kerja sama sekaligus memberi pelatihan kepada pengrajin setempat. Arif mengaku, pernah memberi pelatihan pada pengrajin di Kupang, perbatasan Timor Leste, Palangkaraya, dan Padang. Ia membina dan mendidik pengusaha di sana, sampai bisa berjalan sendiri barulah ia lepas.

Arif memang tak segan berbagi ilmu. Menurutnya dengan berbagi ilmu, ia bisa mendapatkan lebih banyak ilmu lagi. Arif juga merasa usahanya ini tidak pernah tergantung dengan pemerintah. Bahkan, terkadang pemerintah malah tidak mendukung. Misalnya saja, pernah Pemda setempat mewajibkan pegawai negeri memakai lurik, tapi begitu berganti bupati, kebijakan itu pun juga berhenti. Itu sebabnya Arif terus berupaya mencari terobosan. Ia gencar berpromosi lewat media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan seterusnya. Ia memang harus pintar menggunakan berbagai macam trik supaya lurik tetap dikenal. Dan ternyata respons masyarakat pun masih besar. Arif menjelaskan, saat ini di Pedan tinggal tersisa belasan pengrajin. Itu pun kebanyakan masih memproduksi lurik dengan corak monoton.





Kreativitas Arif juga ditunjukkan ketika ia membuat pashmina dengan motif lurik. Arif memang mengamati bahwa pasar hijab begitu besar, bahkan sudah menjadi mode. Hasilnya, pashmina-nya pun juga laris manis. Berkat berbagai usahanya ini, Arif boleh dibilang termasuk pengrajin lurik terdepan di Pedan. Dalam menjalankan usahanya, ia dibantu 40-an karyawan, di antaranya khusus membuat lurik untuk pasar ekspor. Sebenarnya, menurut Arif, pasar lurik produksinya masih sangat besar. Hanya saja ia terkendala dengan SDM. Oleh karena itu ia terus berusaha mendidik para pengrajin. Selain itu, ia juga tengah merancang alat tenun yang sebagian dijalankan dengan mesin. Tentu agar produksinya makin besar.  

Soal harga, menurut Arif bervariasi sesuai bahan. Untuk bahan sutera, per potongnya mencapai ratusan ribu. Sementara untuk bahan kelas 2, harganya di kisaran Rp 80.000. Lalu katun bisa antara Rp 55 ribu –Rp 60 ribu. Kini, Arif pun juga kerap mendapatkan pesanan dari berbagai instansi. Untuk bisa sukses menjalankan usaha turun temurun ini, Arif menyampaikan beberapa kiat sukses. Yaitu, belajar dari kegagalan dan keberhasilan orangtuanya. Lalu selalu berupaya untuk terus mengembangkannya. Intinya, jangan sampai pasar meninggalkan usahanya. Arif yang masih akan terus mengembangkan budaya Nusantara ini bertekad, lurik akan tetap hidup, selamanya.    



0 komentar:

Posting Komentar